Sumber ekon.go.id

Pemanfaatan Teknologi di Lahan Food Estate

06 Jul 2021 16:08

Secara umum, Kalimantan Timur menghadapi permasalahan Food Estate seperti tipologi lahan rawa yang secara kimia bersifat masam, sehingga memerlukan perlakuan tertentu yakni ameliorasi (pengapuran untuk menurunkan pH tanah). Selain itu, dibutuhkan pula sistem tata air mikro yang terkontrol agar tidak terjadi overdrained (naiknya lapisan pirit ke permukaan) di lahan pertanaman. Kebutuhan bahan anorganik dalam jumlah besar juga penting untuk percepatan pematangan lahan.

Untuk memenuhi seluruh kebutuhan tersebut pastinya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karenanya Asisten Deputi Ketahanan Kebencanaan dan Pemanfaatan Teknologi (Asdep KKPT) Kedeputian Bidang Koordinasi Pengembangan wilayah dan Tata Ruang bersama Tim beberapa waktu lalu melakukan kunjungan ke Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah IPB untuk berdiskusi terkait potensi pemanfaatan teknologi pertanian di lahan Food Estate.

“Perlunya mengkaji Food Estate dari sisi pengembangan wilayah dan bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi regional. Apakah ada teknologi yang cocok untuk dikembangkan di sana? Dan bagaimana dukungan ekosistemnya termasuk SDM didalamnya?” ujar Asdep KKPT Muksin membuka diskusi.

Food Estate perlu dikelola dengan model bisnis corporate farming (lembaga yang dibentuk petani). Pola ini akan memberikan ruang untuk petani secara mandiri melakukan pengelolaan lahan termasuk pengolahan hasil pertanian.

Ketua P4W IPB Iskandar Lubis menyampaikan bahwa kelembagaan menjadi salah satu tantangan dalam Food Estate. Model corporate farming yang dikelola secara profesional dapat menciptakan ekosistem agroindustri oleh petani yang memanfaatkan pengembangan ekonomi digital.

Model corporate farming dapat memberikan nilai tambah yang besar pada keekonomian regional namun dengan prasyarat yaitu melalui sistem konsolidasi lahan bukan koorporatisasi. Lahan tetap dimiliki oleh petani namun dikonsolidasikan sehingga pengelolaan semakin efisien.

Dari segi keekonomian, selain memberikan nilai tambah yang lebih tinggi, model corporate farming ini juga dapat meningkatkan keberagaman jenis usaha. Setelah ditingkatkan kemampuan manajerial dan entrepreneurship-nya, diharapkan gabungan kelompok tani dalam bentuk koperasi dapat berperan sebagai offtaker dalam mata rantai tataniaganya.

Teknologi hanya merupakan salah satu enabler sehingga perlu dilakukan pendalaman demand dan supply teknologi yang tepat guna. Teknologi pertanian smart agriculture atau precision agriculture terdiri dari dua bagian yaitu produksi dan thread. Oleh karena itu, diperlukan mitigasi thread melalui asuransi pertanian.

Tahap awal dari smart agriculture adalah pengembangan Data Center Food Estate berbasis big data. Data Center ini kemudian dipadukan dengan pemanfaatan teknologi digital sebagai backbone dari smart Food Estate yang dimulai dari proses pra produksi (pengolahan tanah, pemupukan tanah/pengapuran, pemilihan benih, pemantapan Calon Petani Calon Lokasi (CPCL), pengaturan tata air mikro), proses produksi, dan proses pemasaran produk.

Aplikasi teknologi digital ini dapat digunakan untuk memprediksi luas areal dan waktu tanam yang disesuaikan dengan kesesuaian lahan (land suitability), luas areal dan waktu panen, produktivitas, luas serangan hama penyakit serta potensi kekeringan, kebutuhan air, dan kebutuhan sarana produksi secara lebih akurat. Untuk mencapai itu, dibutuhkan data time series minimal 15 tahun berupa data agroindustri, data cuaca/faktor lingkungan, dan data kebencanaan. (d6/map/fsr/hls)

***


Bagikan di | Cetak | Unduh