Sumber ekon.go.id

Tahun 2019, Di Tengah Ketidakpastian Global, Ekonomi Indonesia Masih Tumbuh Di Atas 5 Persen dan Mampu Memperbaiki Kualitas Pertumbuhan 

20 Dec 2019 19:00

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS

No. HM.4.6/163/SET.M.EKON.2.3/12/2019

Tahun 2019, Di Tengah Ketidakpastian Global, Ekonomi Indonesia Masih Tumbuh Di Atas 5 Persen dan Mampu Memperbaiki Kualitas Pertumbuhan 

Jakarta, 20 Desember 2019

Di tengah ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global, ekonomi Indonesia diestimasikan tetap mampu mencatatkan pertumbuhan di atas 5% yaitu mencapai 5,05%. Sementara itu, inflasi diproyeksikan masih dalam sasaran dengan rentang proyeksi 3.0-3,1% (YoY). 

“Perhitungan ini sudah merefleksikan kondisi ekonomi sampai dengan triwulan (TW) III tahun 2019,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat berbincang dengan awak media tentang refleksi perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2019, Jumat (20/12) di kantornya.  

Airlangga menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia berhasil menurunkan tingkat pengangguran (Agustus 2019: 5,28%), tingkat kemiskinan (Maret 2019: 9,41%), dan rasio gini (Maret 2019: 0,382).

Indonesia pun tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di antara negara G20 pada TW III 2019, yakni sebesar 5,02%. Indonesia hanya kalah dari China sebesar 6%, adapun India bahkan turun tajam ke tingkat 4,55%.

Realisasi inflasi s.d November 2019 masih terjaga di angka 3%. Realisasi inflasi pada November 2019 untuk kelompok Administered Price (AP) menunjukkan penurunan yang signifikan karena adanya koreksi tiket pesawat sejak Juni 2019 (YoY). 

Sementara kelompok inti cenderung stabil meskipun sebelumnya sempat ada kenaikan harga emas global, serta Volatile Food (VF) kembali mengalami kenaikan menjelang Hari Besar Keagamaan dan Nasional (HBKN) akhir tahun. 

“Sepanjang 2019, inflasi tertinggi terjadi pada bulan April-Juni, bertepatan dengan HBKN (Ramadan dan Lebaran). Beberapa komoditas yang memberikan kontribusi inflasi terbesar antara lain bawang merah, cabe merah, dan daging ayam,” sambungnya. 

Menko Airlangga pun menjelaskan tentang transmisi perlambatan defisit neraca perdagangan. Neraca Perdagangan tahun 2019 (s.d. November 2019) mengalami defisit sebesar USD 3,1 miliar. Defisit ini lebih rendah dibandingkan tahun 2018 yang sebesar USD 7,6 miliar. Perbaikan defisit ini disebabkan karena menurunnya defisit Migas (dari USD -12,4 miliar menjadi USD -8,3 miliar) dan kenaikan surplus Non-Migas (dari USD 4,8 miliar menjadi USD 5,2 miliar).

Ekspor dan Impor sepanjang tahun 2019 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2018 di periode yang sama, namun penurunan impor (-9,88%) lebih tinggi daripada penurunan ekspor (-7,61%).

Neraca pembayaran juga mulai membaik di TW III 2019. Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada TW III 2019 mencapai USD -0,05 miliar, mengalami perbaikan dari TW II 2019 sebesar USD -1,98 miliar maupun dari TW III 2018 sebesar USD -4,39 miliar. 

“Kondisi ini didorong oleh perbaikan defisit transaksi berjalan serta peningkatan surplus transaksi modal dan finansial,” tuturnya. 

Ada 2 (dua) upaya yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, mendorong agar neraca pembayaran surplus, sehingga diperlukan peningkatan investasi dengan mendorong Foreign Direct Investment (FDI) dan mengurangi investasi asing jangka pendek/portfolio. Kedua, mengurangi defisit transaksi berjalan. 

“Untuk mewujudkan hal tersebut, disusun Omnibus Law agar memperbaiki ekosistem investasi,” terang Menko Perekonomian. 

Airlangga kemudian menuturkan, konsumsi rumah tangga tercatat masih terjaga. Di tahun 2019 ini, Pemerintah terus berupaya untuk menjaga daya beli masyarakat, sehingga konsumsi masyarakat masih tumbuh 5,01% di TW III 2019. Indikator konsumsi masih terjaga, tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) >100, porsi pengeluaran konsumsi masih tinggi, dan penjualan ritel masih tumbuh.

Sementara kinerja industri pengolahan, sepanjang tahun 2019 sektor ini tumbuh di level moderat di bawah pertumbuhan rata-rata sejak 2016. Kendati masih menjadi sumber pertumbuhan utama, tetapi perannya semakin turun.

Berdasarkan data survei PMI yang dilakukan oleh Bank Indonesia, sektor industri pengolahan masih pada fase ekspansi (>50). Namun beberapa sektor diindikasikan mengalami perlambatan di antaranya Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), Logam Dasar dan Besi Baja, serta Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya.

“Tantangan yang dihadapi oleh sektor industri pengolahan adalah tekanan terhadap permintaan dunia akibat adanya konflik dagang AS dan Tiongkok, adanya perubahan penetapan tarif, serta standarisasi produk,” jelas Menko Perekonomian. 

Merespon pelambatan ekonomi global, kata Airlangga, selama tahun 2019 sejumlah bank sentral di dunia mengambil langkah menurunkan suku bunga acuan. Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan (BI 7 DRR) sebanyak 4 kali (100bps), menjadi sebesar 5% (per November 2019). Namun, penurunan rata-rata suku bunga kredit perbankan hanya 22 bps menjadi 10,7% per September 2019.

Ia juga menerangkan, gejolak ekonomi global tercermin pada kondisi pasar keuangan dalam negeri yang menunjukkan volatiltas. Namun, dibandingkan beberapa negara emerging lainnya, kondisi perubahan kurs maupun return saham Indonesia masih positif dan tidak sevolatil negara lain (%ytd rupiah:2,71%; %ytd IHSG: 0,28%). 

“Dari keseluruhan hasil refleksi perekonomian kita di tahun 2019 ini, Pemerintah merancang 3 (tiga) strategi utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas di tahun 2020. Strategi tersebut antara lain penguatan neraca perdagangan, penguatan permintaan domestik, dan transformasi struktural,” pungkasnya. (idc/iqb)

***

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Hermin Esti Setyowati

Website: www.ekon.go.id
Twitter & Instagram: @perekonomianRI       
Email: humas@ekon.go.id


Bagikan di | Cetak | Unduh