Pengembangan Kota Kreatif Berbasis Ekonomi Lokal
29 Sep 2015 09:32Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi, serta inovasi telah melahirkan bentuk aktivitas ekonomi kreatif. Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia memiliki peluang besar untuk melakukan transformasi dan penguatan struktur ekonomi melalui pengembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu potensi dan kekayaan bangsa ini.
Potensi lokal sebagai bagian dari identitas kekayaan daerah menjadi kata kunci dalam pembangunan kota kreatif. Kota kreatif bukan sekedar city branding, tetapi lebih kepada komitmen untuk mengangkat dan mengembangkan potensi kekayaan lokal. Oleh karena itu, visi dan komitmen pemerintah serta keterlibatan forum kreatif menjadi sangat penting dalam pembangunan kota kreatif yang berkelanjutan.
Hal itu disampaikan oleh Dr. Ir. Rudy Salahuddin, MEM, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing KUKM Kemenko Perekonomian dalam sambutannya sekaligus membuka Workshop dan Focus Group Discussion (FGD) “Pengembangan Kota Kreatif Berbasis Potensi Lokal untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi”. Acara itu di Yogyakarta, Selasa 29 September 2015.
Di Indonesia, ekonomi kreatif saat ini mulai tumbuh dan berkembang menjadi sektor ekonomi yang memiliki peranan penting bagi perekonomian. Pada tahun 2014, ekonomi kreatif diperkirakan telah berkontribusi sebesar 7,1% terhadap PDB nasional, menyediakan 12 juta tenaga kerja, dan memberikan kontribusi perolehan devisa negara sebesar 5,8%. Dalam lima tahun ke depan, sektor ini ditargetkan memiliki kontribusi terhadap PDB nasional mencapai 12%, 13 juta tenaga kerja, dan kontribusi ekspor mencapai 10%.
Berdasarkan data-data tersebut serta sejalan dengan Nawa Cita dan arahan Presiden Republik Indonesia, ekonomi kreatif diharapkan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia di masa mendatang.
Pengembangan ekonomi kreatif juga selaras dengan semangat pembangunan berkelanjutan sebagaimana dituangkan dalam Sustainable Development Goals (SDG’s) sebagai kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDG’s). Dari 17 Goals dalam SDG’s, dua diantaranya terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, serta pembangunan permukiman yang inklusif, aman, dan berkelanjutan.
Dengan besarnya ekspektasi pertumbuhan sektor ekonomi kreatif, kita dihadapkan pada tantangan untuk dapat menstimulasi terciptanya bentuk-bentuk kreativitas yang memiliki nilai lebih tinggi, termasuk nilai ekonomi dan kontribusinya bagi perekonomian nasional.
Pengembangan ekonomi kreatif nasional masih menghadapi beberapa permasalahan yang menyebabkan pengembangan sektor tersebut belum optimal, diantaranya adalah (1) belum adanya fasilitasi kebijakan dan peraturan yang akomodatif, termasuk insentif yang masih sangat minim; (2) ketersediaan infrastruktur yang belum memadai; (3) dukungan dan inisiatif daerah yang belum optimal; serta (4) kelembagaan yang belum inklusif.
Salah satu upaya untuk menjawab tantangan dan permasalahan tersebut adalah membentuk ruang-ruang yang dapat menjadi pusat aktivitas dan interaksi bagi lintas pelaku ekonomi kreatif, baik pemerintah, pelaku usaha/industri, akademisi, serta komunitas/forum kreatif. Di sisi hulu, ruang kreatif harus mampu mengakomodasi dan menginspirasi bagi munculnya sense of creativity. Di sisi hilir, ruang tersebut harus dapat mengintegrasikan proses kreasi-produksi-distribusi dan pemasaran potensi ekonomi kreatif yang ada. Dengan demikian, ruang kreatif harus dirancang untuk membentuk iklim dan ekosistem ekonomi kreatif yang komprehensif, kondusif, partisipatif dan inklusif.
Untuk mendorong pengembangan ekonomi kreatif bisa digunakan konsep “kota kreatif” berbasis potensi lokal. Selain membentuk ruang kreatif, pembangunan kota kreatif berbasis potensi lokal juga dimaksudkan untuk meningkatkan pengembangan ekonomi lokal yang diarahkan untuk dapat mendorong pemerataan ekonomi dan daya saing nasional.
Dunia internasional mengenal beragam definisi tentang kota kreatif. UNESCO sebagai organisasi internasional di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan bahkan telah membangun Jaringan Kota Kreatif Dunia yang saat ini terdiri dari 63 kota dari 32 negara, termasuk Kota Pekalongan. Di Indonesia, forum dan jejaring forum kota kreatif sejenis dibentuk secara partisipatif oleh komunitas, antara lain Bandung Creative City Forum (BCCF) dan Solo Creative City Network (SCCN). Forum lainnya juga terdapat di Yogyakarta, Pekalongan, Malang, dan Bali. Hal ini menunjukkan bahwa ruang kreatif perlu memiliki kesatuan fungsi dan tidak harus dibatasi secara wilayah administratif.
Kota kreatif harus dibangun setidaknya berdasarkan empat modal utama yaitu (1) dukungan ekosistem yang kuat, baik dari sisi kebijakan dan regulasi, infrastruktur, SDM, pendanaan, maupun kelembagaan; (2) keterpaduan seluruh rangkaian proses kreasi-produksi-distribusi; (3) tahapan pembangunan yang terukur dengan memperhatikan potensi lokal dan tingkat kesiapan pendukung, antara lain sarana dan prasarana, pelaku usaha, visi dan komitmen pemerintah daerah; serta (4) keterlibatan aktif dan kerjasama dari seluruh pemangku kepentingan dengan pembagian peran yang jelas dan proporsional. Sinergi antar program pembangunan pemerintah baik pusat maupun daerah dengan inisiatif komunitas/forum kreatif juga mutlak harus dibangun.
Dengan memperhatikan agenda dan target pembangunan nasional, Indonesia perlu memiliki sendiri definisi, kriteria, dan indikator kota kreatif. Untuk itu, kita perlu rumuskan bersama agar dapat menjadi pedoman yang aplikatif bagi seluruh pemangku kepentingan. Dengan adanya ownership dan komitmen bersama, pengembangan kota kreatif diharapkan tidak menjadi sebuah program dan branding sesaat, tetapi dapat menjadi jembatan menuju pengembangan dan pembangunan kota yang berkelanjutan.
“Kota Kreatif sebagai inisiasi pintu menuju Kota Berkelanjutan,” ungkap M. Sani Roychansyah, Kaprodi MPKD UGM yang menjadi salah satu pembicara dalam workshop kali ini.
***