Sumber ekon.go.id

Pemerintah Mulai Merancang Aturan Turunan RUU Cipta Kerja melalui Paradigma RBA

28 Feb 2020 15:59

Pemerintah mulai menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. RPP NSPK tersebut merupakan tindak lanjut dari RUU Cipta Kerja (Ciptaker) yang saat ini draft dan naskah akademiknya telah diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sejak 12 Februari lalu.

Dalam rapat koordinasi (kick-off meeting) yang diadakan pada Kamis (27/2), sejumlah Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait mulai membahas teknis RPP NSPK tersebut. Hal yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana setiap K/L yang terlibat dalam RUU Ciptaker memahami perubahan paradigma dalam proses perizinan berusaha, dari License Based Approach (LBA) menjadi Risk Based Approach (RBA).

Menurut Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono, isu perizinan berusaha mendominasi RUU Ciptaker. “Kalau dari sisi substansinya, hampir 87% selalu bicara (tentang) kemudahan dan perizinan berusaha. Jadi perlu ada terobosan reformasi struktural terkait perizinan, sehingga timbul konsep baru yang mempermudah (keluarnya) izin,” jelasnya.

Meskipun sudah ada sistem Online Single Submission (OSS), lanjut Susi, banyak perizinan di Indonesia yang masih terkendala di UU. Hal itu mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem perizinan yang ada di nusantara ini.

“Pendekatan diubah dari yang berbasis licensing ke risk. Jadi bisa memilah-milah, mana yang harus diawasi secara lebih ketat karena berisiko tinggi dan mana yang bisa tidak terlalu ketat (diawasi) karena berisiko rendah sehingga dapat dilayani secepat-cepatnya,” ujarnya.

Sesmenko menerangkan, pembuatan sejumlah PP sebagai aturan turunan RUU Ciptaker akan berjalan paralel dengan pembahasan RUU Ciptaker itu sendiri di DPR. Rencananya akan disusun sebanyak 36 PP dan 7 Peraturan Presiden (Perpres).

Sejalan dengan itu, ia pun menyebut bahwa strategi komunikasi publik yang baik diperlukan untuk mendorong RUU Ciptaker bisa diselesaikan sesuai rencana dan harapan. “Di samping kami akan mulai roadshow (RUU Ciptaker) ke daerah-daerah, kami juga mohon untuk K/L teknis supaya dapat juga berinisiatif mengundang stakeholders-nya masing-masing untuk menjelaskan substansi RUU Ciptaker ini,” katanya.

 

Paradigma Risk Based Approach (RBA) yang Lebih Efektif dan Sederhana

Sementara itu Staf Ahli Bidang Pengembangan Daya Saing Nasional Kemenko Perekonomian Lestari Indah menerangkan, konsep RBA sudah banyak dipakai di negara-negara lain. Ia mengungkapkan bahwa saat ini sudah sepatutnya masuk dalam era baru yang tidak semua bidang usaha memerlukan izin. RBA lebih fokus kepada jenis usaha, ketimbang produk.

“Kalau sekarang kita license approach, apa-apa harus izin, yang tidak menerapkan kompleksitas pengembangan usaha. Saat ini lebih banyak aturan (hyper regulation), NSPK tidak terstandarisasi, dan pelaksanaan pengawasan tidak optimal. Sebaiknya aturan sekarang lebih pada pengawasan,” terangnya.

Dengan menerapkan konsep RBA, maka pelaksanaan penerbitan perizinan perusaha dapat lebih efektif dan sederhana. Kegiatan pengawasan pun menjadi lebih terstruktur, baik dari periode maupun substansi yang harus diawasi.

Alur analisa perizinan berusaha dengan RBA, pertama harus ditentukan kriteria risiko (dasar) yang berdasarkan faktor kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan keterbatasan sumber daya. Kemudian dilakukan integrated risk assessment yang akan memunculkan tingkat risiko yang dimiliki usaha tersebut, terdiri atas risiko rendah, menengah rendah/menengah tinggi, dan tinggi.

Kalau usaha itu mempunyai risiko rendah, maka jenis perizinan berusahanya cukup NIB dan pengawasan tipe 1, sedangkan kalau risikonya menengah (rendah/tinggi) diperlukan NIB, sertifikat standar, dan pengawasannya tipe 2 dan 3, dan jika tingkat risiko tinggi diperlukan NIB, izin dan pengawasan tipe 4.

“Tipe pengawasan dibedakan oleh intensitas atau frekuensi pengawasan. Hal ini dilakukan atas pelaksanaan standar sektor dan standar Health, Safety and Environment (HSE),” ucapnya.

Cesar Cordova, Senior Director Jacobs, Cordova & Associates yang bekerja sama dengan Asian Development Bank (ADB) menuturkan jika memang penting ada perubahan paradigma dari sistem pengaturan (regulatory) kepada risiko. RBA sudah menjadi elemen kunci dalam reformasi regulasi.

“Yang perlu diperhatikan adalah implementasinya. Pemerintah harus bisa (memberi) command, mengontrol, dan memverifikasi. Karena, semakin dalam masuk ke RBA, akan lebih dalam lagi (keharusan) untuk verifikasi. Hal yang diverifikasi adalah sesuatu yang lebih berpotensi menimbulkan harm atau risk. Semakin banyak verifikasi, maka trust yang ditimbulkan (di kalangan pengusaha/konsumen) pun akan makin tinggi,” ungkapnya. (rep/iqb)

***


Bagikan di | Cetak | Unduh