Sumber ekon.go.id

Pemerintah Turun ke Daerah Sosialisasikan UU Cipta Kerja: Bahas Sektor Perindustrian, Perdagangan, Kepabeanan, Perizinan, KPBPB, KEK, & Transportasi

11 Dec 2020 15:51

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS
No. HM.4.6/212/SET.M.EKON.3/12/2020

Pemerintah Turun ke Daerah Sosialisasikan UU Cipta Kerja:
Bahas Sektor Perindustrian, Perdagangan, Kepabeanan, Perizinan, Kawasan Perdagangan Bebas & Pelabuhan Bebas, KEK & Transportasi

Batam, 11 Desember 2020

Saat ini tengah disusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah disahkan pada 2 November 2020.

Dalam proses penyusunan ini, pemerintah berkeinginan untuk menyerap aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan, supaya RPP dan RPerpres tersebut nantinya mampu mengakomodir seluruh aspirasi dari mereka.

“Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja” telah dilaksanakan di beberapa daerah, termasuk hari ini (Jumat, 11/12) di Batam, Kepulauan Riau. Pada kesempatan ini, pemerintah berusaha menampung seluruh masukan dari stakeholders untuk penyusunan RPP dan RPerpres terkait sektor Perindustrian, Perdagangan, Kepabeanan, Perizinan, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan Transportasi.

 

Sektor Kepabeanan, Perizinan, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan KEK

Dalam sektor ini, terdapat 2 RPP yang sedang disusun pemerintah, yaitu: RPP Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan RPP Kawasan Ekonomi Khusus. RPP tersebut merupakan bagian dari 44 peraturan pelaksana yang terdiri dari 40 RPP dan 4 RPerpres.

Pada kondisi saat ini, Indonesia mengalami tantangan ekonomi berupa ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara kawasan barat dan timur Indonesia. Lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) nasional disumbang oleh Pulau Jawa yaitu sekitar 59%, disusul Sumatera 22,7% dan sisanya wilayah lain yang hanya menyumbang 18,3% dari PDB nasional.

“Isu inilah yang mendorong pengembangan model Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pada 2009. Model KEK mendorong partisipasi sektor swasta dan memberikan kebebasan dalam menentukan kegiatan usaha. Dalam pelaksanaannya, pemerintah akan memberikan fasilitas dan insentif bagi investor di KEK,” ungkap Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo.

Tahapan penyelenggaraan KEK terdiri dari 5 (lima) tahap, yakni: (1) Pengusulan KEK; (2) Penetapan KEK; (3) Pembangunan KEK; (4) Pengelolaan/Pengoperasian KEK; dan (5) Evaluasi Pengelolaan/Pengoperasian KEK. Sementara, pembentukan KEK ditetapkan oleh Presiden dengan skema Pengusulan Pembentukan KEK dapat berasal dari Badan Usaha, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat.

Saat ini tercatat ada 15 KEK di Indonesia, yang terdiri dari 11 KEK yang sudah beroperasi dan 4 KEK dalam tahap pembangunan. Pada 2020, nilai investasi yang tercatat di KEK sebesar Rp69,87 triliun dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 15.226 orang.  “Diharapkan pada 2025 nilai investasi meningkat menjadi Rp725,42 triliun dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 672.173 orang,” ujarnya.

Dalam upaya mencapai target peningkatan investasi dan penyerapan tenaga kerja di tahun 2025, maka arah pengembangan KEK ke depan yaitu: Meningkatkan ekspor dan substitusi impor; Mempercepat terwujudnya Industri 4.0; Mengembangkan wilayah yang belum berkembang; Mempercepat pengembangan sektor jasa/tersier; dan Memperbaiki neraca perdagangan.

Lalu, dengan adanya RPP KEK akan memberikan kemudahan dalam hal pelayanan perizinan dan non perizinan antara lain: Perizinan berusaha dan perizinan lainnya dilaksanakan oleh Administrator berdasarkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK); Administrator dapat melaksanakan Pelayanan Mandiri Kepabeanan; dan Tidak diperlukan lagi Izin Usaha Kawasan Industri bagi Kawasan yang sudah ditetapkan sebagai KEK.

Selain itu, diatur pula terkait insentif dan kemudahan di KEK, yaitu: (1) Pengembangan sistem elektronik terintegrasi secara nasional, (2) Pemberian fasilitas tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM untuk Jasa Kena Pajak dan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; (3) Bagi KEK non industri dapat melakukan impor barang konsumsi; (4) Pemerintah Daerah wajib memberikan dukungan termasuk insentif daerah; dan (5) Dewan Nasional dapat menetapkan tambahan fasilitas dan kemudahan lain.

Selain itu, juga diatur mengenai perluasan kegiatan di KEK mencakup jasa pendidikan dan kesehatan; pengusulan KEK oleh badan usaha swasta harus sudah menguasai lahan minimal 50%; dan berlakunya insentif ketenagakerjaan yang diatur dalam PP.

RPP berikutnya dalam klaster Kawasan Ekonomi adalah RPP tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Ini bertujuan meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, serta memperluas lapangan kerja di KPBPB, yang diharapkan mampu mereformasi dan menghilangkan hambatan dalam penyelenggaraannya selama ini, seperti dalam hal isu kelembagaan Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan (BP), birokrasi kewenangan BP terutama dalam bidang perizinan; dan pengaturan fasilitas fiskal yang ada di KPBPB.

“RPP KPBPB tidak hanya melingkupi KPBPB Batam, Bintan, dan Karimun (BBK), namun juga melingkupi KPBPB Sabang, terutama dalam hal kewenangan perizinan, aturan pemasukan dan pengeluaran  barang, serta insentif,” kata Wahyu.

RPP KPBPB akan terdiri dari 11 Bab dan 68 pasal yang memuat beberapa hal penting dalam mereformasi KPBPB yakni tentang Dewan Kawasan; Badan Pengusahaan; Perizinan; Ketentuan larangan dan pembatasan; Pemasukan dan Pengeluaran; Insentif; dan Integrasi Pengelolaan Kawasan BBK.

Berbagai fasilitas dan kemudahan untuk KPBPB yang secara khusus termuat dalam UU Cipta Kerja, baik itu dalam pelayanan perizinan berusaha maupun insentif dan kemudahan berusaha di KPBPB, yang meliputi:

(1) Penegasan kewenangan BP dalam mengeluarkan perizinan berusaha dan perizinan lainnya;

(2) Ketentuan perizinan berusaha akan mengikuti peraturan perundang-undangan mengenai pelayanan perizinan berusaha berbasis resiko dan tata cara pengawasan;

(3) Fasilitas fiskal seperti pembebasan bea masuk, PPN, dan PPnBM;

(4) Fasilitas pembebasan cukai untuk barang non-konsumsi yang sesuai dengan ketentuan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai; dan

(5) Pengembangan sistem perizinan elektronik terintegrasi secara nasional yang dikeluarkan berdasarkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) berbasis sistem elektronik.     

  

Sektor Perindustrian, Perdagangan, dan Transportasi

Pandemi Covid-19 menimbulkan berbagai dampak, terutama ekonomi. Indikator perekonomian nasional menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan signifikan menjadi 2,97% pada triwulan pertama dan terkontraksi menjadi minus 5,32% pada triwulan kedua. Hal ini antara lain disebabkan penerapan PSBB di berbagai daerah.

Sedangkan, pada triwulan ketiga, pertumbuhan ekonomi mulai mengalami pemulihan, meskipun masih tetap tumbuh minus 3,49%. Pada triwulan keempat diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat mendekati 0% bahkan positif.

“Hal ini didukung konsumsi pemerintah yang tumbuh sebesar 9,79% dan beberapa sektor seperti pertanian dan informasi-komunikasi yang masih positif,” jelas Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kemenko Perekonomian Elen Setiadi.

Pada sisi ketenagakerjaan, terjadi disrupsi pada kondisi ketenagakerjaan akibat munculnya pandemi Covid-19. Selain pengangguran, perlu diperhatikan seberapa besar pekerjaan yang hilang akibat pandemi, dan dampak terhadap pasar kerja yang berupa pengurangan jam kerja (working hour losses).

Elen menerangkan, “Tercatat 29,12 juta atau 14,28% dari penduduk usia kerja terkena dampak Covid-19, terdiri dari 5,09 juta orang pengangguran, tidak bekerja sementara dan bukan angkatan kerja karena Covid-19, serta 24,03 juta orang mengalami pengurangan jam kerja (shorter hours) karena pandemi ini juga.”

Sementara itu, jumlah pengangguran naik 2,67 juta sehingga menjadi 9,77 juta orang. Apabila ditambah dengan pekerja paruh waktu sejumlah 33,34 juta dan setengah penganggur sebanyak 13,09 juta, maka terdapat 56,2 juta orang yang bekerja tidak penuh. Adapun yang mengalami dampak penurunan pendapatan akibat Covid-19 adalah masyarakat berpenghasilan rendah di bawah Rp1,8 juta sebesar 70,5%.

Kemudian, dalam beberapa tahun terakhir, Gross National Income per kapita mengalami kenaikan secara konsisten, dan Indonesia telah mencapai posisi sebagai negara upper middle income per 1 Juli 2020. Dapat dilihat bahwa di 2019 pendapatan per kapita negara ini sebesar US$4.050, naik dari 2018 sebesar US$3.840. Dalam kondisi ini, Indonesia menghadapi tantangan Middle Income Trap (MIT), yaitu keadaan ketika perekonomian suatu negara tidak dapat meningkat menjadi negara high income.

“Melihat dinamika perekonomian global, dan mempertimbangkan kondisi ketenagakerjaan kita dan tantangan untuk bisa keluar dari MIT, maka diperlukan terobosan besar dalam melakukan transformasi ekonomi serta mendorong reformasi struktural di Indonesia. Salah satu yang menjadi andalan utama adalah melalui reformasi regulasi, yakni melalui UU Cipta Kerja,” tutur Elen.

UU Cipta Kerja juga sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada serta tantangan kita ke depan, antara lain untuk memanfaatkan “bonus demografi” yang akan dialami Indonesia dalam 10-15 tahun mendatang (2020-2035), kemudian menyederhanakan, menyinkronkan, dan memangkas regulasi dikarenakan terlalu banyaknya aturan yang diterbitkan di pusat dan daerah (hyper-regulation) yang menghambat kegiatan berusaha dan penciptaan lapangan kerja.

“Saat ini tercatat lebih dari 43 ribu peraturan, terdiri atas 18 ribu peraturan pusat, 14 ribu peraturan menteri, 4 ribu peraturan LPNK, dan hampir 16 ribu peraturan di daerah,” imbuhnya.

UU Cipta Kerja juga memberikan perlindungan dan kemudahan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi, yaitu mereka bisa masuk ke sektor formal melalui kemudahan pendirian, perizinan, dan pembinaan. Jumlah UMK sendiri sebesar 64,13 juta atau sebesar 99,98% dari total UMKM sejumlah 64,19 juta.

“Jadi di sini, UU Cipta Kerja juga akan memudahkan peciptaan lapangan kerja baru melalui peningkatan investasi, dengan tetap memberikan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan bagi pekerja yang sudah ada,” ujarnya.

Penciptaan lapangan kerja baru tersebut akan didorong uleh kemudahan mendirikan usaha pula, yang mana pengusaha diberi kemudahan dalam menentukan lokasi kegiatan usaha sesuai tata ruang; menyiapkan dan membangun bangunan gedung tempat usaha; mendapatkan perizinan dan fasilitas/ kemudahan; serta mendapatkan bahan baku dan mengelola kegiatan usaha.

Serta, ada kemudahan untuk mendapatkan Sertifikat Halal, mendapatkan perizinan bagi nelayan, mendapatkan legalitas usaha (badan hukum), mendapatkan lahan dan/atau tanah, dan optimalisasi aset negara dan dukungan administrasi pemerintahan untuk penciptaan lapangan kerja.

Dalam hal perizinan, UU Cipta Kerja mengubah paradigma dan konsepsi perizinan berusaha, dari pendekatan berbasis izin (license based) menjadi berbasis risiko (risk based). Yaitu, untuk usaha dengan Risiko Rendah cukup dengan pendaftaran (Nomor Induk Berusaha/NIB), untuk usaha Risiko Menengah dengan Sertifikat Standar, dan yang mempunyai Risiko Tinggi dengan izin.

Perubahan konsepsi perizinan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

(1) Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang: Percepatan penetapan RTRW dan RDTR digital yang terintegrasi antara darat, pesisir dan laut.

(2) Persetujuan Lingkungan: Kepastian dan kemudahan proses dalam penyusunan Amdal dan UKL-UPL.

(3) Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi: Menggunakan standar teknis bangunan gedung.

(4) Perizinan Berusaha Sektor yang meliputi 15 Sektor: Kelautan dan Perikanan; Pertanian; Kehutanan; Energi dan Sumber Daya Mineral; Ketenaganukliran; Perindustrian; Perdagangan; Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Transportasi; Kesehatan dan Obat & Makanan; Pendidikan dan Kebudayaan; Pariwisata; Keagamaan; Pos Telekomunikasi dan Penyiaran; Pertahanan dan Keamanan.

(5) Perizinan Berusaha dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan yang datur dalam UU, dilaksanakan sesuai dengan NSPK (mengatur jenis perizinan, standar, syarat, prosedur, dan jangka waktu penyelesaian) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan berlaku secara nasional (pusat dan daerah).

(6) Perizinan Berusaha yang tidak dilaksanakan sesuai dengan NSPK, untuk kepastian hukum dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat atau dapat dinyatakan telah diberikan dengan penerapan asas fiktif positif.

Sebagai informasi, dalam rangka memperbanyak lagi masukan masyarakat, pemerintah juga telah membentuk Tim Serap Aspirasi yang bersifat independen dan beranggotakan para ahli serta tokoh masyarakat. Tim ini diharapkan dapat menjadi jembatan yang aktif bagi masyarakat untuk memberikan masukan kepada pemerintah atas RPP dan RPerpres atau hal lainnya yang dipandang perlu untuk implementasi UU Cipta Kerja secara efektif.

Kemudian, pemerintah juga membuka ruang bagi publik memberi masukan, yakni melalui portal resmi UU Cipta Kerja (https://uu-ciptakerja.go.id). Selain itu, masyarakat juga dapat memberikan masukan secara langsung ke Posko Cipta Kerja yang beralamat di Kantor Kemenko Perekonomian, Gedung Pos Besar Lantai 6, Jalan Lapangan Banteng Utara, Jakarta.

Turut hadir dalam acara ini Asisten II Ekonomi Pembangunan Provinsi Kepri Syamsul Bahrum; Staf Ahli Menteri Bidang Iklim Usaha dan Investasi Kemenperin Imam Haryono; Staf Ahli Bidang Iklim Usaha dan Hubungan Antar Lembaga Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana; Kepala Biro Hukum Kemenhub Wahju Adji Herpriarsono; Sekretaris Dewan Nasional KEK Enoh Suharto Pranoto; Direktur Fasilitas Kepabeanan Kemenkeu Untung Basuki; Plt. Direktur Jasa dan Kawasan BKPM Nur Fuad; dan Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Kepri Slamet Sutantyo. (rep/hes)

***

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Susiwijono Moegiarso

Website: www.ekon.go.id
Twitter & Instagram: @PerekonomianRI
Email: humas@ekon.go.id


Bagikan di | Cetak | Unduh